Jumat, 07 September 2012


Hakekat Guru


 Belajar dari Puntadewa

Dikisahkan bahwa Prabu Puntadewa didatangi seekor burung emprit yang meminta perlindungan kepadanya karena hendak dimakan oleh burung elang yang lebih perkasa. Si burung emprit yang ketakutan bersembunyi di balik punggung Prabu Puntadewa ketika burung elang datang. Elang pun menagih agar diberi burung emprit pada Prabu Puntadewa. Namun karena sudah berjanji untuk melindungi si burung emprit, Prabu Puntadewa menawarkan dirinya untuk dimakan oleh sang burung elang. Untuk mengganti emprit Prabu Puntadewa rela dipotong daging tubuhnya oleh burung elang. hingga seberat burung emprit. Hingga akhirnya setelah semua bagian tubuh Prabu Puntadewa hingga hanya tersisa tubuh dan kepalanya, belum juga berat dagingnya menyamai burung emprit. Hingga akhirnya Prabu Puntadewa pun berniat memotong kepalanya agar tubuhnya bisa dimakan burung elang. Namun, tidak dinyana ternyata burung emprit adalah jelmaan Dewa Indra dan burung elang adalah jelmaan Bathara Guru yang ingin menguji Prabu Puntadewa.
Dari kisah diatas kita disuguhkan betapa komitmen seringkali diuji dengan beragam hal. Dalam dunia nyata dapat kita lihat betapa mudahnya persahabatan putus karena penghianatan, betapa mudahnya terjadi perceraian saat perselingkuhan terjadi, betapa mudahnya pertengkaran saat tidak dipenuhinya sebuah janji atau hal-hal sepele lainnya. Semua ini lahir dan disebabkan lantaran satu kata yakni “komitmen”. Betapa kita diajarkan bahwa sosok yang berintegritas adalah pribadi yang memegang teguh komitmen kemanusiaannya.
Pada jaman dahulu, “resi” digunakan untuk mengganti sebutan “guru”, namun tidak jauh beda dengan sekarang sosok resi dan guru kerapkali dianggap sebagai sosok yang serba tahu, pinunjul dan kaya ilmu. Namun berbeda dengan guru, resi merupakan manifestasi guru yang mampu menampilkan citra diri kemanusiaan dalam perilaku dan tutur kata. Hingga apa yang disabdakan seorang resi tidak terbantahkan dan harus dilaksanakan. Untuk menampilkan citra diri yang mencerminkan kemanusiaannya maka setiap orang harus mengakui hakekat dirinya di dalam masyarakat. Atau lebih tepatnya, tentang bagaimana peran fungsi yang harus dijalankan seseorang dimasyarakat, itulah arti hakekat diri. Seperti kita tahu, seorang pemain bola tidak akan bermain hebat, jika ia tidak mengakui bahwa dirinya memang dilahirkan untuk bermain bola. Disini kita belajar tentang pentingnya penerimaan diri sebelum melaksanakan sesuatu.
Hakekat Guru
Mengenal hakekat guru tidak jauh beda dengan mengenal hakekat pemain bola. Untuk menampilkan kemanusiaannya maka seorang guru harus mengakui terlebih dahulu keberadaannya sebagai “pelayan pendidikan” atau “abdi pendidikan”. Sebagai seseorang yang sangat akrab dengan dengan kehidupan siswanya. mengenal siswanya sebagai pribadi yang haus akan sentuhan nilai-nilai kearifan, kejujuran, kesabaran dan motivasi diri. Disini profesi guru tidak boleh dianggap sebagai pilihan kedua, tetapi sebagai panggilan diri untuk melawan ketidaktahuan siswa. Persoalan pendidikan tidak hanya seputar anak bodoh dan tidak bodoh, tetapi lebih pada akar ketidak tahuan setiap pribadi siswa tersebut tentang model kemanusiaan itu sendiri.
Untuk itu seorang guru hanya perlu meningkatkan kepeduliannya terhadap siswa saat ingin menampilkan model kemanusiaan tersebut. Sekolah dan kelas harus dimaknai sebagai ruang pertemuan yang “intens”, bukan terkesan “formalistik” seperti hari ini. Betapa banyak guru yang kemudian tidak mengenal siswanya satu persatu dan hanya sebatas nomor absennya belaka. Guru tidak boleh hanya menuntut siswa dengan tumpukan tugas, namun juga memberi ruang penghargaan dengan mengkoreksi tugasnya dengan benar. Dan sesekali memberikan kata-kata magis pembakar semangat disetiap lembar tugas yang dikerjakan. Tidak boleh hanya memarahi siswa saat dia melakukan pelanggaran terhadap aturan yang disepakati bersama, namun juga membangun kepercayaan dan tanggung jawab diri untuk bertindak berdasarkan nilai-nilai yang baik. Tidak hanya menutup gerbang dan komunikasi saat siswa datang terlambat atau mengalami masalah tetapi juga menjadi teman terbaik bagi siswa yang mampu memberikannya inspirasi. Tidak semata-mata egois dengan urusannya sendiri namun lupa memberikan penjelasan yang cukup atas ketidak tahuan siswa. Ingatlah bahwa bagaimanapun pintarnya muridmu, dia tetapkan anak-anak yang butuh bimbingan guru disampingnya.
Dalam bukunya, Masyarakat yang Sehat, Fromm menulis, bahaya-bahaya zaman ini adalah perang dan robotisme. Dimana kebahagiaan menjadi identik dengan mengkonsumsi barang-barang dengan model keluaran terakhir, menikmati musik, film-film, kesenangan seks, minuman keras, rokok, dst, lalu teler. Untuk itu guru perlu memberikan arti kebahagiaan bagi para siswanya. Arti harapan yang ditawarkan oleh guru tersebut tidak lain adalah untuk belajar dan terus belajar untuk menghargai hidup dan kehidupan.
Dari kisah Prabu Puntadewa dan burung emprit sebenarnya kita belajar untuk berkomitmen pada kemanusiaan kita sendiri. Betapa ucapan yang sudah diucapkan merupakan komitmen yang sepadan dengan nyawa diri, hingga tidak ada artinya apa yang dimiliki apabila tidak mampu untuk berkomitmen dengan sebenar-benarnya. Betapa kebahagiaan pribadi itu hadir saat pribadi itu mampu membahagiakan orang lain, dengan peduli kita membahagiakan diri sendiri. Konsep ini tampak relevan sekali dengan apa yang coba kita terapkan disekolah kita hari ini sebagai pelayan prima kepada anak didik.
Dalam konsep ini “kepedulian” yang diwujudkan dalam tindakan, menjadi kata kunci pelayanan pendidikan yang baik bagi siswa. Seorang guru harus mampu mengedepankan perhatian (attention) yang ditunjang oleh kemampuan melayani (service ability) dan tampilan layanan (service appearance) yang baik kepada siswanya. Disinilah peran guru untuk memanusiakan siswanya, sebab pendidikan hanya akan bermuara pada satu hal yakni pada kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan disekolah ditandai oleh relasi yang hidup diantara guru dan siswa, diwarnai dengan keceriaan dan kegembiraan yang tidak berkesudahan. Seperti diawal tahun saat perjumpaan dengan siswa, mereka berkata pada gurunya: ” Bapak, boleh aku minta tolong diajari…bantu aku memahami karena bapak kan katanya guru paling pandai seantero negeri..***
Sumber : http://hafismuaddab.wordpress.com/tag/hakekat-guru/

Senin, 19 Maret 2012

AKU IKI URIP


Apa yang dimaksud dengan hidup?
Dimana letak hidup itu?
Siapa yang menjadi hidup?


Kita sering membicarakan tentang kehidupan namun tidak tentang hidup itu sendiri... hidup sebagai sebuah entitas. Hidup yang menghidupi yang menggerakkan kehidupan kita detik demi detik meski kita dalam keadaan tidur.

Hidup adalah alif.
Awal dan akhir.
Kita mengenal hidup dari keAKUan kita yang masih dalam bentuk nafs namun apakah keAKUan tersebut adalah kesejatian dari hidup? Makna sejati dari jatidiri?

Dalam falsafah atau pengertian spiritual jawa dikenal dengan kata "Ingsun" yang berarti "Aku" namun disini bukan Aku sebagai keAKUan yang merupakan perwujudan keterikatan kesadaran diri manusia terhadap apa yang menjadi alamnya.

"Ingsun" adalah entitas manusia yang sejati.
Yang menggerakkan dan sekaligus tergerakkan.

Manusia hidup itu perwujudan dari "Manunggaling kawulo-gusti".
Gusti itu adalah kesejatian diri manusia yang seutuhnya , yang suci dan tertinggi sedangkan kawulo adalah cermin dari keGUSTIan yang mengejowantah dalam kehidupan yang terikat oleh nafsu yang kita kenal sebagai manusia pada umumnya.

"Ingsun" adalah guru sejati.
Dewaruci setiap manusia.
Guru yang tidak pernah salah.
Yang menjadi awal dan akhir dari perjalanan manusia.

"Ingsun" mengejowantah dalam tubuh manusia dan menggerakkan seluruh komponen tubuh manusia dari satuan tubuh yang terkecil yaitu sel yang kemudian kita mengenal sebagai "nyawa".

"Ingsun" memedar atau menginkarnasi menjadi bagian-bagian yang terikat oleh tubuh dan menciptakan kehidupan akhir yang kita kenal sebagai manusia yang didalamnya penuh dengan keterikatan.

Dalam tataran nyata , kesadaran manusia adalah "Ingsun" yang terikat oleh jasad yang suatu saat dan pasti akan mencari jalan menuju kembali ke kesucian. Benih inilah yang kemudian muncul mendorong manusia berlomba-lomba menemukan arti dan makna jatidiri.

"Ingsun" , gusti yang sudah mengkawulo ini akan tumbuh berkembang sejak dia masih dalam bentuk "benih suci" kemudian tumbuh dalam rahim dan lahir sebagai bayi , tumbuh dewasa dan mati.

Didalam kehidupan inilah sang "Ingsun" mengenal , merasakan dan mencari dirinya sendiri yang terhijab untuk kembali menjadi fitri melalui ribuan jalan yang kita kenal sebagai jalan spiritual.

Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai tuhan dengan huruf "t" kecil.
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Roh Kudus
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Al haq
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai guru sejati
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Kesadaran tertinggi
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Hidup
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Kesejatian

Dan mungkin masih ada ribuan pengenalan akan tentang hakekat "hidup" namun tidak akan pernah memaknai seluruh arti tentang hakekat entitas yang disebut "hidup" itu sendiri.

Mengenal "hidup" , tidak bisa lewat akal karena akal adalah sebuah keterikatan demikian dengan tubuh oleh sebab itu untuk mencapainya kita harus melalui "lepas tubuh".
Mengenal "hidup" , tidak bisa dengan semua bentuk yang terwujud karena "hidup" adalah akhir dari keterwujudan yang terwujud.
Mengenal "hidup" adalah proses panjang anak manusia namun dia tidak terikat oleh apa dan siapa wujudnya , tidak perduli apa agama , suku , ras dan golongannya.

Karena "hidup" adalah awal dan akhir , apa yang ada diantaranya adalah keterikatan , kebendaan yang bukan sejati.

Memahami wujud "hidup" tidak akan pernah habis oleh goresan pena karena apa yang ada didunia adalah perwujudan darinya.... jadi meski beribu-ribu buku tertuliskan maka tidak akan pernah menyentuh hakekatnya karena semua yang terwujud adalah bentuk akal manusia yang berusaha memperkenalkan sesuatu yang dikenalnya pada saat dia tidak memiliki apa-apa.

Hidup itu alif , "dikukut kados mrico jinumput , digelar anggebaki jagad".
Kita kenal alif sebagai konsonan penghidup "hahihuheho" , alif yang menghidupkan kata namun juga yang mematikan kata. Namun jauh dari semua itu... alif adalah alif , awal dan akhir.

Demikian pula dengan uraian saya ini , sudah pasti jauh dari apa yang sebenarnya... hanya ini saja batas kemampuan saya untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan.

Nenek moyang sering menyimbolkan hidup dengan perlambang "sejatine ora ono opo-opo , sing ono kuwi dudu"~Sesungguhnya tidak ada apa-apa yang ada itu bukan.

Mari mumpung ramadhan , kita lepas semua keterikatan... kita pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Menghidupi , lepaskan semua dan gantungkan seluruh urusan kita kepadaNya.
Semoga kita kembali menjadi yang fitri.
Aku iki urip

Apa yang dimaksud dengan hidup?
Dimana letak hidup itu?
Siapa yang menjadi hidup?

Kita sering membicarakan tentang kehidupan namun tidak tentang hidup itu sendiri... hidup sebagai sebuah entitas. Hidup yang menghidupi yang menggerakkan kehidupan kita detik demi detik meski kita dalam keadaan tidur.

Hidup adalah alif.
Awal dan akhir.
Kita mengenal hidup dari keAKUan kita yang masih dalam bentuk nafs namun apakah keAKUan tersebut adalah kesejatian dari hidup? Makna sejati dari jatidiri?

Dalam falsafah atau pengertian spiritual jawa dikenal dengan kata "Ingsun" yang berarti "Aku" namun disini bukan Aku sebagai keAKUan yang merupakan perwujudan keterikatan kesadaran diri manusia terhadap apa yang menjadi alamnya.

"Ingsun" adalah entitas manusia yang sejati.
Yang menggerakkan dan sekaligus tergerakkan.

Manusia hidup itu perwujudan dari "Manunggaling kawulo-gusti".
Gusti itu adalah kesejatian diri manusia yang seutuhnya , yang suci dan tertinggi sedangkan kawulo adalah cermin dari keGUSTIan yang mengejowantah dalam kehidupan yang terikat oleh nafsu yang kita kenal sebagai manusia pada umumnya.

"Ingsun" adalah guru sejati.
Dewaruci setiap manusia.
Guru yang tidak pernah salah.
Yang menjadi awal dan akhir dari perjalanan manusia.

"Ingsun" mengejowantah dalam tubuh manusia dan menggerakkan seluruh komponen tubuh manusia dari satuan tubuh yang terkecil yaitu sel yang kemudian kita mengenal sebagai "nyawa".

"Ingsun" memedar atau menginkarnasi menjadi bagian-bagian yang terikat oleh tubuh dan menciptakan kehidupan akhir yang kita kenal sebagai manusia yang didalamnya penuh dengan keterikatan.

Dalam tataran nyata , kesadaran manusia adalah "Ingsun" yang terikat oleh jasad yang suatu saat dan pasti akan mencari jalan menuju kembali ke kesucian. Benih inilah yang kemudian muncul mendorong manusia berlomba-lomba menemukan arti dan makna jatidiri.

"Ingsun" , gusti yang sudah mengkawulo ini akan tumbuh berkembang sejak dia masih dalam bentuk "benih suci" kemudian tumbuh dalam rahim dan lahir sebagai bayi , tumbuh dewasa dan mati.

Didalam kehidupan inilah sang "Ingsun" mengenal , merasakan dan mencari dirinya sendiri yang terhijab untuk kembali menjadi fitri melalui ribuan jalan yang kita kenal sebagai jalan spiritual.

Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai tuhan dengan huruf "t" kecil.
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Roh Kudus
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Al haq
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai guru sejati
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Kesadaran tertinggi
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Hidup
Ada yang mengenalkan "Ingsun" sebagai Kesejatian

Dan mungkin masih ada ribuan pengenalan akan tentang hakekat "hidup" namun tidak akan pernah memaknai seluruh arti tentang hakekat entitas yang disebut "hidup" itu sendiri.

Mengenal "hidup" , tidak bisa lewat akal karena akal adalah sebuah keterikatan demikian dengan tubuh oleh sebab itu untuk mencapainya kita harus melalui "lepas tubuh".
Mengenal "hidup" , tidak bisa dengan semua bentuk yang terwujud karena "hidup" adalah akhir dari keterwujudan yang terwujud.
Mengenal "hidup" adalah proses panjang anak manusia namun dia tidak terikat oleh apa dan siapa wujudnya , tidak perduli apa agama , suku , ras dan golongannya.

Karena "hidup" adalah awal dan akhir , apa yang ada diantaranya adalah keterikatan , kebendaan yang bukan sejati.

Memahami wujud "hidup" tidak akan pernah habis oleh goresan pena karena apa yang ada didunia adalah perwujudan darinya.... jadi meski beribu-ribu buku tertuliskan maka tidak akan pernah menyentuh hakekatnya karena semua yang terwujud adalah bentuk akal manusia yang berusaha memperkenalkan sesuatu yang dikenalnya pada saat dia tidak memiliki apa-apa.

Hidup itu alif , "dikukut kados mrico jinumput , digelar anggebaki jagad".
Kita kenal alif sebagai konsonan penghidup "hahihuheho" , alif yang menghidupkan kata namun juga yang mematikan kata. Namun jauh dari semua itu... alif adalah alif , awal dan akhir.

Demikian pula dengan uraian saya ini , sudah pasti jauh dari apa yang sebenarnya... hanya ini saja batas kemampuan saya untuk menjelaskan sesuatu yang tidak pernah bisa dijelaskan.

Nenek moyang sering menyimbolkan hidup dengan perlambang "sejatine ora ono opo-opo , sing ono kuwi dudu"~Sesungguhnya tidak ada apa-apa yang ada itu bukan.

Mari mumpung ramadhan , kita lepas semua keterikatan... kita pasrahkan semuanya kepada Yang Maha Menghidupi , lepaskan semua dan gantungkan seluruh urusan kita kepadaNya.
Semoga kita kembali menjadi yang fitri.